Ntvnews.id, Jakarta - Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu mengungkapkan bahwa produsen otomotif asal Jepang, Toyota, tengah mengambil peluang untuk berinvestasi dalam pemenuhan kebutuhan bioetanol di Indonesia. Langkah ini sejalan dengan kebijakan pemerintah terkait mandatori pencampuran 10 persen bioetanol ke bahan bakar minyak (E10) yang akan segera diberlakukan.
“Saat ini, kebutuhan bahan bakar di dalam negeri mencapai lebih dari 40 juta kiloliter per tahun, dengan kewajiban E10 maka setidaknya Indonesia membutuhkan sekitar 4 juta kiloliter bioetanol di 2027 dan agar tidak kehilangan momentum, maka persiapan pembangunan pabrik pendukung harus dimulai dari sekarang. Peluang inilah yang ditangkap oleh Toyota yang juga sudah mengembangkan mobil berbahan bakar bioetanol di banyak negara,” ujar Todotua yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam pernyataan di Jakarta, Senin, 10 November 2025.
Pada Jumat, 7 November 2025, Todotua bertemu dengan CEO of Asia Region Toyota Motor Corporation, Masahiko Maeda, dan meninjau fasilitas penelitian di Fukushima yang dimiliki oleh Research Association of Biomass Innovation for Next Generation Automobile Fuels (RABIT).
Pertemuan tersebut membahas rencana investasi Toyota dalam membangun ekosistem bioetanol di Indonesia. Rencana ini dinilai sejalan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo yang mendorong swasembada energi, penguatan ekonomi hijau, serta hilirisasi sumber daya alam nasional.
Baca Juga: Wamen Todotua ke Jepang Bahas Kerja Sama Pengembangan Bioetanol
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, menerima audiensi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).
“Kami melihat potensi besar kerja sama dengan Toyota untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi bioetanol di kawasan,” kata Todotua.
Toyota melalui kolaborasi risetnya di Jepang bersama RABIT, kini mengembangkan bioetanol generasi kedua yang bersumber dari biomassa nonpangan, seperti limbah pertanian dan tanaman sorgum.
Teknologi tersebut dinilai relevan dengan kekayaan agrikultur Indonesia dan kondisi agroklimatnya yang mendukung untuk budidaya berkelanjutan.
“Kemarin saat kunjungan kami juga telah berdiskusi dengan RABIT, bahwa teknologi pabrik bioetanol generasi kedua ini dapat memanfaatkan berbagai macam limbah pertanian (multi feedstock), sehingga teknologinya cocok dengan Indonesia yang tidak hanya memiliki potensi tanaman sorgum, tetapi bisa juga dari tebu, padi, singkong, kelapa sawit, aren dan lain-lain,” tutur Todotua.
Dalam Roadmap Hilirisasi Investasi Strategis yang dimiliki Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, beberapa daerah seperti Lampung telah ditetapkan sebagai sentra pengembangan industri bioetanol, dengan bahan baku utama dari tebu, singkong, dan sorgum.
Sektor ini diharapkan tidak hanya memperkuat rantai pasok energi bersih, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan petani di berbagai wilayah.
“Sebagai pioneer project, tadi sudah didiskusikan akan bekerjasama dengan Pertamina NRE (New Renewable Energy) di Lampung, untuk bahan bakunya juga tidak hanya dari perusahaan tapi juga melibatkan petani dan koperasi tani setempat sehingga juga dapat menggerakkan perekonomian di daerah, nantinya untuk suplai energi juga diintegrasikan dengan plant geothermal dan hidrogen milik Pertamina,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) juga menyampaikan ketertarikan untuk berinvestasi di sektor pengembangan industri bioetanol nasional. Langkah ini merupakan bagian dari strategi global Toyota untuk memastikan pasokan bahan bakar bagi kendaraan flex-fuel berbasis bioetanol sekaligus mendukung kebijakan pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil.
Baca Juga: Pertamina Patra Niaga Siap Berkolaborasi untuk Edukasi Publik tentang Bioetanol
“Sepulangnya dari Tokyo, baik Toyota maupun Pertamina akan langsung melakukan joint study dan site visit ke lokasi di Lampung, targetnya pada awal tahun 2026 perusahaan patungan (JV) sudah terbentuk,” ujarnya.
Todotua menambahkan bahwa dalam mendukung kebijakan E10, saat ini sedang dikaji pembangunan fasilitas produksi bioetanol berkapasitas 60.000 kiloliter per tahun dengan nilai investasi mencapai Rp2,5 triliun.
“Investasi ini menjadi langkah awal yang diharapkan tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga membuka peluang ekspor ke negara lain,” ucapnya. (Sumber: Antara)
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Todotua Pasaribu. ANTARA/Imamatul Silfia. (Antara)