Kemenkeu Targetkan Pajak Kripto untuk Tingkatkan Penerimaan Negara

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 26 Agu 2025, 17:11
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Arsip foto - Warga mengamati pergerakan harga mata uang kripto Bitcoin (BTC) di Semarang, Jawa Tengah, Jumat 1 Agustus 2025 (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wpa.) Arsip foto - Warga mengamati pergerakan harga mata uang kripto Bitcoin (BTC) di Semarang, Jawa Tengah, Jumat 1 Agustus 2025 (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wpa.) (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan bakal memaksimalkan kebijakan perpajakan atas aset kripto sebagai salah satu strategi memperkuat penerimaan negara.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta, Selasa, 26 Agustus 2025 menyampaikan bahwa terdapat perubahan regulasi terkait perpajakan aset digital. Ketentuan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025.

Perubahan kebijakan ini dilandasi peralihan kewenangan pengawasan kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalam aturan terbarunya, Kemenkeu mengatur beberapa poin penting mengenai skema pajak kripto. Pertama, transaksi aset digital di platform resmi kini dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena statusnya dipersamakan dengan surat berharga.

Kedua, terdapat penyesuaian pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 final, yakni transaksi melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri dikenakan tarif 0,21 persen. Sementara itu, untuk transaksi lewat PPMSE luar negeri atau melalui setoran mandiri tarifnya lebih tinggi, yaitu 1 persen.
Sedangkan untuk penambangan kripto (miner), mereka tidak lagi dikenai PPh 22 final, melainkan mengikuti tarif umum mulai tahun fiskal 2026.

Baca Juga: VIDEO: Fakta Memilukan Kebakaran Hebat Hantam Pertokoan Pasar Payakumbuh

“Kalau sebelumnya kripto ini kita kenakan pajak, ada dua jenis pajak, yaitu PPh dan PPN karena di bawah Bappebti dia dianggap sebagai komoditas, maka tentu ada PPN. Nah sekarang kripto mempunyai kesetaraan dengan instrumen keuangan yang lain sehingga administrasi perpajakannya juga diatur berbeda,” jelas Yon Arsal.

Ia menambahkan bahwa aturan ini berbeda dengan regulasi lama ketika kripto masih dikategorikan sebagai komoditas. Saat itu, PPh 22 final dikenakan 0,1 persen untuk transaksi melalui exchange terdaftar di Bappebti dan 0,2 persen bagi yang tidak terdaftar. Sementara PPN masing-masing dipatok 0,11 persen dan 0,22 persen.

Dengan perubahan status tersebut, Yon Arsal berharap pungutan pajak kripto dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap pendapatan negara.

Berdasarkan data OJK, nilai transaksi aset kripto sepanjang Januari hingga Juni 2025 mencapai Rp224,11 triliun. Namun, pada Juni 2025 tercatat hanya Rp32,31 triliun atau turun 34,82 persen dibandingkan bulan Mei yang mencapai Rp49,57 triliun.

(Sumber: Antara)

x|close