Ntvnews.id, Jakarta - Permintaan untuk menghentikan sementara kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan semakin terdengar. Setelah sebelumnya digaungkan oleh pelaku industri, kini sejumlah kepala daerah turut mendesak pemerintah pusat untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut secara lebih proporsional.
Salah satu suara datang dari Bupati Karawang, Aep Syaepuloh. Ia memperingatkan bahwa lonjakan tarif cukai yang terlalu tinggi bisa membahayakan kelangsungan industri hasil tembakau (IHT), dengan efek domino terhadap tenaga kerja dan penerimaan daerah.
“Kami paham bahwa kenaikan tarif cukai ini akan berdampak pada industri tembakau, karena ada kekhawatiran terjadinya PHK massal dan mendorong peredaran rokok ilegal, yang berakibat dapat merugikan dan menurunkan pendapatan industri rokok legal, pemerintah dan daerah,” katanya kepada media beberapa waktu lalu,
Aep menekankan bahwa pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam menjadi jembatan antara pembuat regulasi dan pelaku industri. Ia meyakini, sinergi yang erat dapat menciptakan kebijakan yang lebih realistis dan mampu menjawab tantangan lapangan.
Ia juga menyampaikan keprihatinan terhadap kemungkinan turunnya pendapatan daerah akibat kebijakan cukai yang tidak bijak. Menurutnya, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan Dana Bagi Hasil Pajak Rokok menjadi sumber utama pendanaan untuk berbagai program pelayanan publik di Karawang, termasuk pembangunan fasilitas kesehatan dan pembiayaan jaminan kesehatan bagi warga kurang mampu.
Sebagai gambaran, Karawang saat ini menampung sekitar 1.700 pekerja di sektor pengolahan tembakau. Angka tersebut menunjukkan betapa pentingnya industri ini bagi ekonomi lokal.
Dukungan terhadap moratorium juga datang dari kalangan industri. Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menyatakan bahwa pelaku usaha tengah menghadapi tekanan besar, terutama di tengah proses pemulihan ekonomi pasca pandemi.
“Moratorium kenaikan cukai hasil tembakau selama tiga tahun akan sangat melegakan bagi industri kami,” kata Benny dalam keterangannya, Selasa, 29 Juli 2025.
Ia menilai bahwa penyesuaian tarif seharusnya mempertimbangkan indikator ekonomi makro secara adil.
“Kenaikannya harus seimbang antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Karena kan kita saat ini sebenarnya lebih kepada situasi survival. Kita bisa tahan saja sudah bagus,” ujarnya.
Selain itu, Benny juga menyoroti semakin meluasnya peredaran rokok ilegal akibat disparitas harga antara produk resmi dan ilegal. Hal ini menciptakan persaingan yang tidak sehat dan sekaligus menggerus penerimaan negara.
“Kita harapkan bukan menangkpnya secara kebetulan, tapi secara sistematis dengan operasi intelijen yang sangat kuat dan melibatkan seluruh penegak hukum, baik polisi, TNI. Yang lebih tegas dan terpadu,” tegasnya.
Ia berharap pergantian pucuk pimpinan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bisa membawa terobosan nyata dalam memberantas praktik ilegal yang merugikan negara dan industri.
Nada serupa juga dilontarkan Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris. Ia menyatakan bahwa kebijakan tarif cukai dan pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 patut dikaji lebih dalam karena berisiko mengancam keberlangsungan industri dan kesejahteraan jutaan pekerja.
“Kalau menurut saya perlu ada kajian khusus. Di Kudus ini, (IHT) menyerap tenaga kerja yang banyak menguntungkan pekerja,” ungkapnya.