Ntvnews.id, Jakarta - Niat tulus untuk membantu meringankan korban banjir yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Bali seperti di Denpasar, Badung, Gianyar, hingga Jembarana, Karangasem dan Tabanan terkadang salah dipahami. Belum lagi di era penyebaran media sosial, kerap dan disengaja sumber informasi yang utuh “dipenggal-penggal” sehingga publik tidak mendapatkan kejelasan informasi yang benar.
Bayangkan efek meredanya angin musson dari Australia yang meningkatkan pertumbuhan awan dan kelembapan sehingga berefek hujan sangat lebat di Bali - yang dikenal dengan Rossby Equatorial dan Kalvin - seperti yang dianggap para ahli klimatologi sebagai penyebab banjir di Bali tanggal 9 dan 10 September 2025 lalu, kerap dilupakan orang.
Sebagian pengamat selalu menganggap banjir di Bali adalah kesalahan tata ruang dan longgarnya perizinan pembangunan villa dan hotel yang semakin menjamur di Bali. Padahal jika ingin obyektif, banjir pun bisa melanda juga negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat bahkan di Singapore. Persoalan banjir harus dilihat secara holistik, dari hulu hingga hilir serta dari berbagai aspek keilmuan.
“Tidak ada surat edaran resmi dari pemerintah provinsi, himbauan untuk membantu korban banjir Bali adalah menggugah semangat gotong royong. Tidak ada yang menginginkan terjadinya banjir. Justru membantu dengan kemampuan dan keiklasan yang ada adalah elan untuk menumbuhkan rasa gotongroyong yang kini semakin pudar di masyakarat,”ujar pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi.
Kebetulan saat banjir terjadi di Bali, pengajar pogram pascasarjana di berbagai kampus di tanah air dan pendiri Universitas Pertamina tersebut tengah berada di Denpasar. Dirinya pun tergerak untuk ikut berdonasi guna meringankan beban penderitaan korban banjir.
Sementara itu Guru Besar Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Bali, Prof. IB Raka Suardana berpandangan esensi dari penggalangan dana dari aparatur sipil negara (ASN) adalah keiklasan.
“Dalam ajaran Hindu tindakan menyumbang korban banjir adalah implementasi dari tat twam asi. Aku adalah engkau dan engkau adalah aku. Dengan membantu korban banjir, ASN sesungguhnya membantu dirinya sendiri karena sejatinya semua makluk saling terhubung dalam satu kesatuan hidup,”ungkap Raka Suardana.
Sumbangan untuk korban banjir
Ari Junaedi berharap publik bisa bijak dalam menerima informasi di era disrupsi media konvensional. Tidak semua informasi yang tersebar di berbagai lini masa seperti Tik Tok, Instragram dan Threads serta X memiliki akurasi berita.
“Saring sebelum sharing dan cari rujukan informasi berita dari media yang kredibel. Di era penyebaran informasi yang demikian cepat, kerap masyarakat hanya menerima penggalan-penggalan informasi yang tidak utuh serta tidak berimbang.” tukas Ari Junaedi yang kerap berada di berbagai lokasi musibah bencana alam di tanah air seperti bencana tsunami di Aceh dan Pangandaran, bencana tsunami dan gempa bumi di Palu, dan bencana gempa di Nabire dalam kapasitasnya sebagai tenaga ahli berbagai instansi pemerintah dan swasta.
Sedangkan dalam amatan Rektor Universitas Dwijendra, Prof I Gede Sedana, sejatinya sumbangan sukarela adalah bagian ajaran Hindu yang tertuang dalam beberapa sloka seperti Bhagavad Gita, Srasamuscaya dan Reg Veda. Korban banjir sangat membutuhkan uluran tangan dari kita bersama secara gotongroyong untuk meringankan beban yang dihadapinya.
“Harusnya kita memaknai ajaran Hindu dengan mewujudkan pemberian sumbangan sukarela yang disebut sebagai dana punia. Melalui konsep yadnya guna menjaga keharmonisan dan kebaikan kehidupan umat, alam semesta dan lingkungan termasuk dengan Hyang Widi Wasa,”beber Gede Sedana.
Civitas academika Universitas Dwijendra sendiri turun langsung membatu korban banjir dengan membantu pembesihan sisa-sisa sampah dan menyalurkan dana bantuan seperti meniru langkah Pemerintah Provinsi Bali yang menggalang dana bantuan sukarela dari para ASN.