Ntvnews.id,
Trenggono menjelaskan bahwa jumlah penduduk dunia yang meningkat secara eksponensial diperkirakan akan mencapai 9,7 miliar pada tahun 2050. Sementara itu, daya dukung bumi tetap konstan.
“Dampaknya adalah sudah pasti kerusakan lingkungan, 'land use' terus akan berkurang, dan sekarang manusia pasti akan bergeser ke 'blue food',” ujarnya dalam acara Peluncuran Blue Food Assessment (BFA) Indonesia dan Indonesia Blue Economy Index (IBEI) di Jakarta, Rabu, 6 Agustus 2025.
Ia menambahkan bahwa ketergantungan pada karbohidrat perlahan mulai ditinggalkan karena dinilai kurang sehat, sementara lahan untuk pertanian pun semakin terbatas. Trenggono merujuk pada prediksi dari Food and Agriculture Organization (FAO) yang memperkirakan kebutuhan protein global akan meningkat hingga 70 persen.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan apresiasinya kepada Bappenas yang telah menunjukkan pemahaman terhadap tantangan ini. Meski begitu, selama empat tahun terakhir, upayanya untuk menyampaikan urgensi pangan biru ke berbagai lembaga dalam negeri kerap menemui hambatan, meskipun idenya mendapatkan sambutan di tingkat internasional.
Ia menjelaskan bahwa kendala terbesar terletak pada sulitnya mengatur pelaku usaha penangkapan ikan di kategori menengah ke bawah, sedangkan pengelolaan terhadap nelayan tradisional masih bisa dilakukan dengan baik.
Trenggono menegaskan pentingnya pangan biru dalam sistem pangan global karena tidak hanya kaya nutrisi, tetapi juga berkelanjutan dan memiliki jejak karbon yang rendah. Selain itu, sektor ini menjadi penopang utama mata pencaharian masyarakat pesisir.
“Pangan biru ini memiliki potensi nilai global diperkirakan mencapai 419 miliar dolar (AS) pada tahun 2030. Indonesia sebagai konsumen utama ikan mencatat produksi stabil 20-25 juta ton per tahun yang menyumbang juga ekspor kira-kira 5,95 miliar dolar (AS) di tahun 2024, dan menjadikannya negara pengekspor bersih produk perikanan,” ujar Trenggono.
(Sumber: Antara)