Industri Tembakau Melemah, Produksi Rokok Catat Rekor Terendah

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 25 Agu 2025, 19:52
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ilustrasi Tembakau Ilustrasi Tembakau (Indonesia.go.id)

Ntvnews.id, Jakarta - Industri hasil tembakau (IHT) semakin berada di bawah tekanan berat di tengah pelemahan ekonomi domestik dan ketidakpastian global. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada kuartal I/2025, sektor pengolahan tembakau mencatat kontraksi terdalam sebesar -3,77% year-on-year (yoy). Angka ini berbanding terbalik dengan capaian positif 7,63% pada periode yang sama tahun lalu.

Produksi rokok juga terus merosot. Dalam enam bulan pertama 2025, produksi hanya mencapai 142,6 miliar batang, turun 2,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Angka tersebut merupakan yang terendah dalam delapan tahun terakhir sejak 2018, kecuali pada 2023. Bahkan per Juni 2025, output hanya 24,8 miliar batang, menurun 5,7% dibanding Mei dan turun 3,2% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap pencapaian target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2025 yang ditetapkan Rp230,9 triliun. Hingga Mei 2025, realisasinya baru mencapai Rp87 triliun atau sekitar 37,8%. Tren ini memperburuk catatan serupa di tahun-tahun sebelumnya. Pada 2023, realisasi CHT hanya Rp213,48 triliun atau 91,78% dari target Rp232,5 triliun, sementara pada 2024 realisasi mencapai Rp216,9 triliun atau 94,1% dari target Rp230,4 triliun.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, mengungkapkan bahwa kinerja IHT, terutama di segmen sigaret putih mesin (SPM), semakin terpukul akibat kebijakan cukai yang terus menekan. Ia menjelaskan bahwa tren pembelian pita cukai sudah melemah sejak awal 2023.

“Memang kenaikan cukai beberapa tahun terakhir ini sudah sangat tinggi, sehingga menekan pertumbuhan industri,” ujar Benny dalam keterangannya, Senin, 25 Agustus 2025.

Selain itu, Benny juga menilai maraknya peredaran rokok ilegal memperburuk kondisi persaingan. “Semakin tinggi cukai, semakin tinggi juga rokok ilegal. Produsen kena persaingan yang tidak sehat, dan dengan rokok ilegal kita nggak bisa bersaing,” tambahnya.

Tekanan serupa dirasakan di Jawa Timur, yang menjadi pusat industri tembakau nasional. Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Jawa Timur, Sulami Bahar, menegaskan bahwa pabrik skala kecil dan menengah kini berada di posisi paling rentan.

“Di Jawa Timur, yang menjadi salah satu basis IHT, pabrik-pabrik kecil sudah mulai berkurang aktivitasnya. Mereka menghadapi kenyataan bahwa kenaikan cukai tidak diikuti oleh kenaikan daya beli masyarakat,” ujarnya.

Sulami menambahkan, kenaikan tarif CHT yang terus terjadi telah membawa dampak nyata berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tutupnya sejumlah pabrik.

“Pabrik yang dulu menyerap ribuan tenaga kerja kini banyak yang hanya bisa bertahan dengan ratusan atau bahkan puluhan pekerja. Beberapa perusahaan terpaksa menutup usahanya karena tidak lagi sanggup menghadapi tekanan biaya produksi yang melonjak,” jelasnya.

Untuk itu, Sulami mendorong pemerintah agar mempertimbangkan moratorium kenaikan cukai selama tiga tahun. Menurutnya, kebijakan ini penting agar pemerintah dan pelaku usaha bisa menyusun peta jalan industri yang lebih seimbang, antara kebutuhan penerimaan negara dan keberlangsungan hidup jutaan tenaga kerja.

“Moratorium tiga tahun adalah langkah realistis agar industri bisa bernapas dan melakukan penyesuaian,” tegas Sulami

x|close