Ntvnews.id, Jakarta - Dampak Siklon Senyar memicu cuaca ekstrem yang mengguncang wilayah Aceh hingga Sumatra. Dalam waktu hampir bersamaan, hujan lebat, angin kencang, dan gelombang tinggi melanda sejumlah daerah.
Pakar Hidrometeorologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Armi Susandi mengungkapkan bahwa sumber utama pembentukan Siklon Senyar berasal dari anomali pemanasan permukaan laut.
Menurut Armi, siklon tropis secara alami lahir dan berkembang di atas laut, bukan di daratan. Pemanasan permukaan laut yang tidak normal menciptakan energi besar yang mendorong terbentuknya sistem cuaca ekstrem seperti Siklon Senyar.
"Kalau pencitos dari Siklon sendiri, itu adalah lautnya sendiri. Jadi dia dari situlah dia bertumbuh dan berkembang karena adanya anomali pemanasan laut yang ada di lokasi itu," ucap Armi Susandi dalam podcast bertajuk Dari Pulomas di YouTube NTVNewsid, dikutip Kamis, 18 Desember 2025.
Ia menyebut wilayah Filipina, Malaysia, Singapura, Selat Malaka, hingga sebagian Samudra Hindia sebagai area yang mengalami suhu laut relatif hangat. Kondisi ini memperbesar potensi munculnya siklon yang berdampak luas.
Baca Juga: Antisipasi Siklon 93S, DPR Minta Warga Ucapkan Selamat Nataru via Video Call
Armi Susandi dan Pimpinan Redaksi NTVNews.id Ismoko Widjaya (YouTube NTVNews.id)
Baca Juga: BMKG Sebut Ada 3 Siklon Dekat RI, DPR Minta Pemerintah Gercep Antisipasi
Khusus di wilayah Samudra Hindia bagian
"Itu masih hangat. Dan saya kira saat ini di Samudra Hindia khususnya di bagian Aceh masih hangat itu. Jadi potensinya akan ada," ujrnya.
"Jadi Kita tidak tahu kapan hangatnya itu kapan ada dimana, tapi biasanya hangat itu di subtropis. Nah sekarang dia hangatnya itu mulai ke arah-arah arah tropis ke arah katulistiwa ini yang kita sebutkan anomali," sambung Armi.
Besarnya skala Siklon Senyar juga menjadi faktor keterkejutan. Jika sebelumnya puting beliung hanya berdampak lokal dengan lebar sekitar 10 meter, kali ini sistem cuaca ekstrem berkembang hingga ratusan kilometer, bahkan disebut mendekati luas Pulau Jawa.
Akibatnya, banyak pihak tidak siap. Mulai dari sistem peringatan dini, kesiapan di lapangan, hingga tata kelola lingkungan yang dinilai masih perlu banyak perbaikan.
"Kita kaget Kita kurang begitu siap Karena sistem kita juga belum terlalu canggih Apalagi di lapangan Apalagi tata lingkungan kita Perlu kita lakukan perbaikan," katanya.
Pakar Hidrometeorologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Armi Susandi (YouTube NTVNews.id)