Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) bisa memutus pelanggaran administrasi pemilihan kepala daerah. Sehingga, hasil kajian Bawaslu kini tak lagi sebatas rekomendasi.
Hal ini diputuskan MK dalam amar Putusan Nomor 104/PUU-XXIII/2025, yang mengubah kata "rekomendasi" pada Pasal 139 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) Kota menjadi "putusan".
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu, 30 Juli 2025.
MK turut menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menindaklanjuti putusan Bawaslu tersebut. Dalam hal ini, MK mengubah frasa "memeriksa dan memutus" pada Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Pilkada menjadi "menindaklanjuti".
MK memutuskan demikian karena mendapati adanya perbedaan atau ketidaksinkronan peran Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu dengan administrasi pilkada.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan, pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Bawaslu diberikan kewenangan untuk memutus pelanggaran administrasi pemilu.
Sementara, dalam Undang-Undang Pilkada, Bawaslu hanya sebatas memberikan rekomendasi atas hasil kajian terhadap pelanggaran administrasi. Kemudian, rekomendasi itu akan diperiksa dan diputus oleh KPU.
"Perbedaan demikian menyebabkan dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu, kewenangan Bawaslu menjadi lebih pasti karena putusan Bawaslu mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti. Sementara itu, dalam menangani pelanggaran administrasi pilkada, karena hanya berupa rekomendasi, kewenangan Bawaslu menjadi sangat tergantung pada tindak lanjut yang dilakukan oleh KPU," papar Ridwan.
Menurut Mahkamah, perbedaan tersebut menyebabkan kekeliruan dalam memaknai kewenangan masing-masing lembaga penyelenggara pemilu. Nyatanya, secara struktur kelembagaan, KPU dan Bawaslu sama-sama penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, penyelesaian pelanggaran administrasi pilkada dengan hanya berupa rekomendasi dinilai memosisikan penangan pelanggaran administrasi hanya bersifat formalitas. Sebab, muara proses hukum yang dilakukan Bawaslu menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Padahal dalam rangka mewujudkan pilkada yang berintegritas, diperlukan dasar hukum yang pasti sehingga dapat ditegakkan oleh penyelenggara pemilu, termasuk ditegakkan oleh Bawaslu, sehingga dapat dicegah dan diselesaikan segala bentuk pelanggaran, termasuk pelanggaran administratif," jelas Ridwan.
MK kembali mengingatkan pembentuk undang-undang untuk menyelaraskan semua dasar pengaturan pemilihan, mengingat tidak ada lagi perbedaan antara rezim pemilu dan rezim pilkada.
DPR dan pemerintah diminta segera merevisi undang-undang yang berkenaan dengan pemilu, khususnya harmonisasi substansi hukum pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden dengan substansi hukum pilkada, termasuk juga pengaturan penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu.
"Upaya penyelarasan tidak hanya mencegah dualisme pengaturan yang berpotensi tumpang tindih, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi seluruh warga negara dalam menggunakan hak politiknya terutama dalam mewujudkan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945," jelas Ridwan.
Melalui putusan ini, MK mengabulkan sebagian permohonan Yusron Ashalirrohman dan Roby Nurdiansyah (mahasiswa Universitas Mataram) serta Yudi Pratama Putra dan Muhammad Khairi Muslimin (paralegal).